Kalau dulu kelapa dianggap cuma buat bikin santan atau dijual keliling pakai gerobak, kini nasibnya jauh lebih mentereng. Bukan lagi jadi bahan pokok warung, tapi komoditas ekspor yang bisa bikin pemerintah daerah senyum-senyum sendiri di pelabuhan. Yap, kali ini Kepulauan Riau (Kepri) mencatat sejarah: ekspor perdana produk olahan kelapa senilai Rp18 miliar resmi dilepas ke Tiongkok.
Acara pelepasan digelar di Batam, jadi momen yang cukup simbolis. Bayangkan: dari pulau yang dikenal sebagai kawasan industri dan transit, kini juga jadi pintu gerbang ekspor komoditas pertanian unggulan. Bukan elektronik atau suku cadang, tapi kelapa — si “pohon kehidupan” yang selama ini mungkin cuma dipandang sebelah mata.
Dari Pohon ke Pasar Global
Produk yang diekspor bukan sekadar kelapa bulat yang baru dipetik dari pohon. Ini adalah produk olahan bernilai tambah tinggi, seperti coconut water powder (serbuk air kelapa), virgin coconut oil (minyak kelapa murni), hingga coconut charcoal (arang kelapa). Semua produk ini punya daya tarik besar di pasar internasional, terutama Tiongkok, yang sedang gandrung dengan bahan alami, organik, dan fungsional.
“Ini bukan sekadar ekspor, tapi transformasi ekonomi rakyat,” ujar salah satu pejabat daerah yang hadir dalam acara pelepasan — mungkin sambil menahan senyum lebar karena akhirnya hasil kerja petani kelapa mulai dihargai di level global.
Nilai Rp18 miliar untuk satu kali pengiriman? Bukan angka main-main, terutama untuk sektor pertanian yang sering dianggap ketinggalan zaman. Ini bukti bahwa kalau dikelola dengan benar, komoditas tradisional bisa jadi bintang baru di neraca perdagangan.
Kenapa Tiongkok?
Tiongkok dipilih bukan karena dekat (meski Batam memang strategis), tapi karena pasar sana haus produk alami. Masyarakat Tiongkok, terutama generasi muda urban, makin peduli kesehatan. Mereka rela bayar mahal buat minuman detox, suplemen alami, dan produk kecantikan berbahan dasar tumbuhan. Nah, kelapa — dengan segala khasiatnya — jadi salah satu primadona.
Air kelapa, misalnya, dianggap sebagai natural electrolyte yang bisa menghidrasi tubuh. Minyak kelapa dipakai untuk perawatan kulit, rambut, bahkan jadi bahan campuran makanan sehat. Arang kelapa? Dipakai buat filter udara, masker wajah, sampai bahan bakar alternatif. Jadi, bukan cuma dimakan — tapi dipakai, dioles, dan dibakar.
Dengan kata lain, kelapa bukan lagi sekadar bahan dapur, tapi bahan industri modern. Dan Kepri, yang punya lahan kelapa cukup luas, punya peluang besar untuk jadi pemain utama.
Batam: Pintu Gerbang Ekspor Baru
Pelepasan ekspor ini dilakukan di Batam, bukan tanpa alasan. Selain infrastruktur pelabuhan yang memadai, Batam juga punya kawasan perdagangan bebas (free trade zone) yang memudahkan proses ekspor-impor. Tidak perlu repot urus bea masuk atau cukai yang ribet — barang masuk, olah, lalu langsung dikirim ke luar negeri.
“Kami ingin Batam tidak cuma dikenal sebagai pusat industri manufaktur, tapi juga jadi hub ekspor produk pertanian unggulan,” kata seorang pejabat Kepri, mungkin sambil berharap suatu hari nanti yang diekspor bukan cuma kelapa, tapi juga durian, mangrove, atau bahkan rumput laut.
Yang menarik, ekspor ini bukan hasil kerja pemerintah semata. Ini kolaborasi antara petani, koperasi, pelaku UMKM, dan perusahaan ekspor. Artinya, rantai nilai dikelola secara lokal, dan keuntungannya tidak langsung lari ke tangan tengkulak atau perusahaan asing.
Tantangan di Balik Angka Rp18 Miliar
Tentu, di balik angka yang menggiurkan, ada tantangan yang masih harus dihadapi. Salah satunya: konsistensi pasokan dan kualitas. Pasar internasional nggak main-main. Kalau minggu ini produkmu bagus, tapi minggu depan jelek, bisa langsung blacklist — dan susah banget buat kembali.
Selain itu, sertifikasi ekspor tetap jadi hambatan bagi banyak pelaku UMKM. Butuh waktu, biaya, dan pemahaman teknis yang tidak semua petani miliki. Jadi, meskipun momentumnya bagus, butuh pendampingan berkelanjutan agar ekspor ini bukan cuma sekali coba, tapi jadi arus utama.
Harapan dari Satu Kontainer Kelapa
Ekspor perdana ini mungkin terlihat seperti satu pengiriman biasa. Tapi simboliknya besar. Ini sinyal bahwa daerah pesisir bisa bersaing di pasar global, asal ada dukungan infrastruktur, akses pasar, dan keberpihakan kebijakan.
Bayangkan kalau setiap daerah di Indonesia yang punya komoditas unggulan — dari kelapa di Kepri, kopi di Gayo, cengkeh di Maluku, sampai kaka di Sulawesi — bisa meniru langkah ini. Bukan cuma impor yang bikin negara rugi, tapi ekspor dari pelosok bisa jadi tulang punggung perekonomian nasional.
Penutup
Jadi, dari pohon yang tumbuh di pinggir pantai, kini kelapa Kepri melanglang buana ke Tiongkok dengan nilai Rp18 miliar. Bukan angka akhir, tapi awal dari cerita yang lebih besar.
Kalau dulu kita bangga karena bisa ekspor sawit atau batubara, kini saatnya bangga karena kelapa dari petani lokal bisa tembus pasar dunia. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, coconut water dari Kepri jadi minuman wajib di kafe-kafe Shanghai atau Beijing.
Untuk para petani kelapa: terus jaga pohonnya. Dunia mulai haus — dan bukan cuma haus air, tapi haus inovasi.