QRIS LIVE

Perhumas Gelar Konvensi Nasional 2025 di Surabaya, Angkat Tema Indonesia Berdaya Saing Global

Bayangkan kamu punya misi: ubah narasi negatif di media sosial jadi cerita yang menginspirasi, dorong pemerintah dan korporasi komunikasi dengan lebih jujur, dan bikin dunia melihat Indonesia bukan cuma dari sisi masalah, tapi dari sisi solusi. Nah, itulah yang coba diwujudkan oleh Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) lewat Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2025, yang akan digelar di Surabaya akhir tahun ini.

Acara tahunan terbesar para pelaku komunikasi ini bakal berlangsung 12-14 Desember 2025 di Kota Pahlawan, dengan tema besar: “Inovasi Bersama untuk Indonesia Berdaya Saing Global” — tema yang sengaja diselaraskan dengan visi pemerintah soal kemajuan nasional di kancah internasional.

Bukan Cuma Acara, Tapi Gerakan Nasional

Kalau kamu kira konvensi humas cuma kumpul-kumpul, diskusi formal, terus pulang — pikir lagi. Kali ini, Perhumas nggak main-main. Mereka ingin acara ini jadi motor penggerak perubahan narasi bangsa.

“Di tengah derasnya arus informasi dan tantangan globalisasi, kita butuh komunikasi yang lebih cerdas, empatik, dan membangun,” kata Ketua Umum Perhumas, Boy Kelana Soebroto, yang terdengar seperti motivator nasional, tapi sebenarnya serius banget.

Salah satu program andalannya: Gerakan Indonesia Bicara Baik. Namun, jangan bayangkan ini cuma ajakan “ayo kita positif-positif aja” ala quote Instagram. Ini lebih dalam. Gerakan ini ingin menggeser energi publik dari keluhan ke solusi, dari pessimisme ke optimisme, dan dari berita buruk ke cerita inspiratif.

“Indonesia punya banyak modal: budaya kaya, sejarah panjang, inovasi daerah, dan kisah sukses yang layak diangkat. Tapi sering kali, yang muncul ke permukaan cuma yang negatif,” ujar Boy, mungkin sambil mengingat betapa cepatnya hoaks dan kabar miring menyebar dibanding kabar baik.

The Power of 5: Kolaborasi yang Dibutuhkan

Agar gerakan ini nggak cuma jadi wacana, Perhumas mengusung konsep The Power of 5 — sinergi lima pilar utama yang bisa membentuk reputasi bangsa:

  1. Pemerintah – sebagai pembuat kebijakan dan penentu arah komunikasi publik.
  2. Akademisi – sebagai penghasil riset dan pemikiran strategis.
  3. Praktisi / Dunia Usaha – sebagai pelaku yang langsung berinteraksi dengan masyarakat.
  4. Komunitas – sebagai penjaga nilai lokal dan agen perubahan di akar rumput.
  5. Media – sebagai penyebar cerita dan penghubung ke publik luas.

Menurut Perhumas, kalau kelima elemen ini bisa nyambung dan bergerak seirama, maka narasi tentang Indonesia akan jauh lebih kokoh — baik di dalam negeri maupun di mata dunia.

Komunikasi Publik Harus Beretika, Berempati, dan Cerdas

Dukungan juga datang dari pemerintah. Fifi Aleyda Yahya, Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital, menegaskan bahwa peran humas kini jauh melampaui tugas lama sebagai “tukang rilis pers”.

“Humas bukan cuma penyampai informasi, tapi katalisator — yang menghubungkan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan media,” tegas Fifi.

Ia memuji Gerakan Indonesia Bicara Baik sebagai lebih dari sekadar kampanye. Baginya, ini adalah ruang budaya komunikasi baru yang berbasis empati, etika, dan kearifan lokal. Di tengah dunia yang makin tidak pastan, komunikasi harus tetap punya moral compass.

“Etika harus jadi jangkar kita,” katanya. “Karena di era di mana AI bisa bikin konten dalam sekejap, yang membedakan manusia adalah hati dan tanggung jawab.”

Apa Saja yang Bakal Terjadi di Konvensi?

Konvensi nanti bukan cuma soal pidato dan panel diskusi (meski itu juga penting). Acara ini akan diisi dengan:

Yang menarik, Perhumas juga baru-baru ini membarui kode etik profesi, termasuk soal penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam praktik humas. Ini menunjukkan bahwa mereka nggak hanya merespons zaman, tapi berusaha memimpin perubahan.

Penutup

Jadi, Konvensi Humas Indonesia 2025 bukan sekadar ajang kumpul-kumpul profesional. Ini adalah upaya kolektif untuk memperbaiki cara kita bercerita sebagai bangsa.

Di saat banyak orang sibuk memperuncing perbedaan, Perhumas memilih jalan yang lebih sulit: menyatukan suara, memperkuat narasi positif, dan memastikan bahwa komunikasi bukan alat propaganda, tapi alat perekat sosial.

Kalau kamu peduli dengan bagaimana Indonesia dilihat dunia, atau bahkan cuma lelah dengan berita yang selalu suram, mungkin inilah gerakan yang patut kamu perhatikan. Karena di balik setiap perubahan besar, selalu ada kata-kata yang disampaikan dengan benar, oleh orang-orang yang peduli.

Exit mobile version