Pemerintah menargetkan pertumbuhan penerimaan pajak hingga 10,5% dalam RAPBN 2026. Simak analisis tantangan, potensi, dan realitas di balik angka-angka ambisius ini.
Pernah dengar istilah wishful thinking? Harapan yang terlalu indah, sampai-sampai nyaris tak masuk akal? Saat membaca dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, kita mungkin sedang melihat versi pemerintah dari itu. Pasalnya, pemerintah mematok target penerimaan perpajakan yang cukup menggigit: tumbuh sekitar 10,5 persen dibanding realisasi 2025. Angka ini, jika direalisasikan, akan membawa penerimaan pajak ke level yang belum pernah tercapai sebelumnya. Tapi pertanyaannya: apakah ini realistis, atau hanya mimpi di siang bolong?
Target Besar, Tapi Apa Dasarnya?
Dalam paparan awal RAPBN 2026, Kementerian Keuangan menyebut bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi 2026 berada di kisaran 5,3–5,7 persen . Dengan asumsi itu, kenaikan penerimaan pajak 10,5% terdengar masuk akal—secara teori. Logikanya sederhana: ekonomi tumbuh, aktivitas usaha meningkat, konsumsi naik, maka otomatis basis perpajakan juga melebar.
Namun, yang jadi sorotan adalah laju pertumbuhan pajak yang jauh melampaui pertumbuhan ekonomi. Ini bukan hal biasa. Dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan pajak di Indonesia jarang bisa dua kali lipat dari pertumbuhan PDB. Jadi, 10,5% bukan sekadar optimisme—ini ambisi tingkat tinggi yang butuh kerja luar biasa keras.
Sumber Utama: PPh Non-Migas dan PPN
Pemerintah menaruh harapan besar pada dua sumber utama: Pajak Penghasilan (PPh) non-Migas dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kedua sektor ini dianggap paling responsif terhadap gairah ekonomi domestik . Dengan maraknya kebangkitan UMKM, ekspansi industri, dan konsumsi rumah tangga yang stabil, penerimaan dari sini memang punya potensi besar.
Namun, ada catatan penting: efektivitas penagihan dan kepatuhan wajib pajak. Tanpa sistem administrasi yang canggih dan penegakan hukum yang tegas, potensi besar itu bisa jadi sia-sia. Ingat, pada 2023 lalu, meski ekonomi tumbuh 5,05%, realisasi pajak sempat terhambat karena masalah teknis dan kebocoran data. Jadi, infrastruktur digital dan integritas SDM di Direktorat Jenderal Pajak akan jadi penentu utama.
Tantangan Nyata: Eksternal dan Internal
Di luar sana, banyak faktor yang bisa mengacaukan skenario indah ini. Ketegangan geopolitik, fluktuasi harga komoditas, dan potensi perlambatan ekonomi global (terutama dari Tiongkok dan AS) bisa menghantam ekspor dan investasi—yang pada akhirnya memengaruhi aktivitas produksi dan konsumsi di dalam negeri . Jika ekonomi tumbuh di bawah 5%, maka target 10,5% pertumbuhan pajak akan terasa seperti mendaki Everest tanpa oksigen.
Belum lagi soal kebijakan domestik. Jika pemerintah terus menunda reformasi perpajakan yang menyentuh akar—seperti penyederhanaan tarif, perluasan basis pajak, atau penutupan tax holiday yang tidak strategis—maka mesin penerimaan akan terus jalan dengan tuning setengah hati .
Harapan dari Reformasi Digital dan Sosialisasi
Di sisi positif, pemerintah tidak tinggal diam. Transformasi digital di Ditjen Pajak terus digenjot. Sistem e-Filing, e-Bupot, hingga integrasi dengan data keuangan nasional (melalui Sistem Informasi Keuangan Negara/SIKN) diharapkan bisa menekan tax gap—selisih antara potensi dan realisasi pajak—yang selama ini diperkirakan masih di atas 30% .
Selain itu, program sosialisasi dan edukasi pajak untuk UMKM dan masyarakat umum juga diperluas. Kesadaran bahwa pajak adalah kontribusi untuk pembangunan, bukan beban, perlahan mulai tumbuh. Ini penting, karena pajak yang sukarela jauh lebih stabil daripada yang hanya didapat lewat penindakan.
Apakah Target Ini Berbahaya?
Beberapa ekonom memperingatkan bahwa menetapkan target terlalu tinggi bisa berisiko. Jika tidak tercapai, defisit anggaran bisa melebar, utang negara membengkak, dan kepercayaan pasar menurun . Tapi pemerintah tampaknya memilih strategi shoot for the moon: kalau pun hanya dapat 7-8%, itu masih lebih baik daripada target rendah yang mudah dicapai tapi tidak mendorong kinerja.
Lagipula, target dalam RAPBN bukan angka final. Ini adalah starting point untuk negosiasi dengan DPR. Bisa saja nanti dikoreksi turun, tergantung proyeksi ekonomi yang lebih realistis saat pembahasan.
Penutup
Jadi, apakah target 10,5% pertumbuhan pajak dalam RAPBN 2026 terlalu ambisius? Mungkin iya. Tapi apakah itu salah? Belum tentu. Ambisi bisa jadi pendorong perubahan. Jika dibarengi dengan eksekusi yang ketat, reformasi yang berani, dan kesiapan menghadapi risiko, maka angka ini bukan sekadar angan-angan. Ia bisa menjadi game changer bagi kemandirian fiskal Indonesia.
Tantangannya besar, tapi peluangnya juga nyata. Yang penting, jangan sampai ambisi berubah jadi ilusi. Karena kalau target pajak meleset, yang bayar bukan cuma wajib pajak—rakyat kecil juga akan merasakan dampaknya lewat belanja publik yang terpotong. Jadi, mari dukung—tapi tetap awasi. Karena pajak yang sehat, berasal dari ekonomi yang sehat, bukan dari mimpi yang terlalu manis.