QRIS LIVE

Proyek Percontohan CCU Petrokimia Gresik: Ubah Emisi Karbon Jadi Bahan Baku Bernilai

Kalau dulu karbon dioksida (CO₂) cuma dianggap sebagai sampah industri — gas tak terlihat yang bikin bumi makin panas — kini pandangan itu mulai berubah. Di pabrik Petrokimia Gresik, CO₂ nggak lagi dibuang begitu saja. Ia dijemput, diolah, dan diubah jadi soda ash dan baking soda, dua bahan penting yang selama ini kita impor dari luar negeri.

Ini bukan adegan film fiksi ilmiah, tapi kenyataan dari pilot project dekarbonisasi berbasis teknologi Carbon Capture and Utilization (CCU) yang digarap oleh PT Petrokimia Gresik (PG) bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Proyek percontohan yang sudah berjalan sekitar sebulan ini bukan cuma soal menyelamatkan lingkungan, tapi juga soal mengubah limbah jadi uang.

Dari Musuh Jadi Sumber Bahan Baku

Bayangkan pabrik yang dulu dituding sebagai penyumbang emisi karbon, kini justru jadi pemasok bahan baku strategis. Itulah yang sedang dikejar Petrokimia Gresik.

“Fasilitas ini diharapkan bisa mengurangi emisi karbon sekaligus menghasilkan produk samping yang bernilai ekonomi,” ujar Direktur Utama Petrokimia Gresik, Daconi Khotob, dengan nada optimis.

Produk utama dari proyek CCU ini adalah soda ash (natrium karbonat) dan baking soda (natrium bikarbonat) — bahan yang sangat dibutuhkan industri kaca, deterjen, makanan, dan farmasi. Data menunjukkan, kebutuhan dalam negeri mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun, dan selama ini seluruhnya diimpor.

Dengan proyek ini, Petrokimia Gresik ingin mengubah ketergantungan itu. “Kita punya CO₂, kenapa nggak dimanfaatkan? Daripada dibuang, mending diubah jadi sesuatu yang berguna,” kata Daconi — mungkin sambil mikir, “Limbah kita ternyata bisa jadi saingan impor.”

Bagaimana Caranya? Tangkap, Ubah, Pakai

Teknologi CCU (Carbon Capture and Utilization) bekerja dalam tiga langkah sederhana tapi canggih:

  1. Tangkap emisi CO₂ dari proses produksi.
  2. Olah menjadi bahan kimia melalui reaksi kimia tertentu.
  3. Manfaatkan sebagai bahan baku industri.

Dalam skala pilot, proyek ini menargetkan kapasitas produksi hingga 50.000 ton soda ash per tahun, yang artinya bisa menyerap sekitar 20.000 ton CO₂. Angka yang belum besar dibanding total emisi, tapi ini adalah langkah awal yang sangat penting.

Sebagai produsen pupuk dan bahan kimia dengan kapasitas 11 juta ton per tahun, Petrokimia Gresik memang punya potensi emisi karbon besar — bisa mencapai 2 juta ton CO₂ ekuivalen per tahun jika tidak dikendalikan. Hingga 2025, berbagai program dekarbonisasi sudah berhasil turunkan sekitar 400.000 ton, tapi masih ada 1,6 juta ton yang perlu ditangani. CCU dianggap sebagai salah satu solusi jangka panjang.

Dukung Net Zero 2050 dan Kurangi Impor

Proyek ini bukan cuma urusan perusahaan. Ia selaras dengan komitmen nasional: mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2050 — 10 tahun lebih cepat dari target sebelumnya. Dan Kemenperin jelas mendukung.

“Pilot project CCU membuktikan bahwa emisi karbon bisa dimanfaatkan jadi bahan baku bernilai tambah,” tegas Sekjen Kemenperin Eko SA Cahyanto dalam forum AIGIS 2025. “Yang selama ini dianggap sampah, kini jadi sumber ekonomi.”

Lebih dari itu, proyek ini juga punya misi strategis: mengurangi ketergantungan impor. Dengan memproduksi soda ash secara lokal, Indonesia bisa menghemat devisa dan memperkuat ketahanan industri.

“Ini juga dorong pengembangan mesin dan teknologi CCU di dalam negeri,” tambah Eko. Artinya, ke depan, kita nggak cuma pakai teknologi asing, tapi bisa bikin sendiri.

Kolaborasi Internasional, Manfaat Lokal

Proyek CCU Petrokimia Gresik bukan kerja solo. Perusahaan ini bermitra dengan Uwin Resource Regeneration Inc, perusahaan asal Taiwan yang punya keahlian khusus di bidang penangkapan dan pemanfaatan karbon. Kolaborasi ini memungkinkan transfer teknologi dan percepatan implementasi.

Namun, tujuannya jelas: teknologi ini harus bisa dikuasai dan dikembangkan oleh anak bangsa. Dari insinyur, teknisi, sampai peneliti lokal, diharapkan bisa memahami dan mengelola sistem CCU secara mandiri.

Tantangan: Skala dan Biaya

Meski hasilnya menggembirakan, tantangan masih besar. Skala pilot tentu berbeda dengan skala komersial. Butuh investasi besar, dukungan kebijakan, dan insentif untuk memperluas proyek ini.

Belum lagi soal biaya. Teknologi CCU masih relatif mahal. Tapi seperti semua inovasi hijau, harganya akan turun seiring dengan perkembangan teknologi dan skala ekonomi.

Yang penting, proyek ini membuktikan bahwa industri hijau bukan cuma soal memangkas emisi, tapi juga menciptakan nilai baru. Dari CO₂ yang dulu cuma bikin pemanasan global, kini bisa jadi bahan pembuat deterjen yang dipakai di rumah-rumah kita.

Penutup

Pilot project CCU Petrokimia Gresik adalah contoh nyata bagaimana industri bisa tumbuh tanpa merusak lingkungan. Ini bukan sekadar kampanye ramah lingkungan, tapi transformasi nyata: dari linear economy (ambil-produksi-buang) ke ekonomi sirkular (ambil-produksi-daur-ulang-jadi nilai).

Kalau proyek ini berhasil diperluas, bisa jadi, suatu hari nanti, label “Made in Indonesia” di kemasan soda ash bukan lagi impor, tapi hasil dari gas buang pabrik yang pintar dimanfaatkan.

Dan siapa tahu, pabrik lain — dari semen, baja, sampai pembangkit listrik — bisa meniru jejak ini. Karena di masa depan, perusahaan terbaik bukan yang paling menguntungkan, tapi yang paling pintar mengubah masalah jadi solusi.

Exit mobile version