KemenkopUKM Dorong Sinergi Multipihak, UMKM Bisa Naik Kelas

Posted on

Kalau kamu pernah lihat warung kelontong tetangga yang tiba-tiba muncul di Google Maps, atau penjual keripik di pasar tradisional yang kini bisa kirim barang ke luar pulau lewat e-commerce, mungkin itu bukan kebetulan. Bisa jadi, mereka adalah bagian dari gelombang kecil transformasi UMKM yang sedang digaungkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenkopUKM) — lewat satu kata kunci: sinergi multipihak.

Istilahnya memang terdengar seperti jargon rapat dinas, tapi intinya sederhana: UMKM nggak harus jalan sendiri. Butuh kolaborasi antara pemerintah, perbankan, platform digital, lembaga pelatihan, bahkan korporasi besar, biar pelaku usaha mikro bisa naik kelas — dari cuma cukup buat makan, jadi punya omzet stabil, bisa rekrut karyawan, dan bahkan ekspor.

UMKM Banyak, Tapi Masih ‘Terjebak’ di Level Mikro

Indonesia punya lebih dari 72 juta UMKM. Angka yang bikin iri negara lain. Tapi, sayangnya, sebagian besar masih berada di level mikro dan kecil, dengan akses terbatas ke modal, pasar, dan teknologi. Mereka sering disebut “tahan banting”, tapi juga “sulit berkembang”.

Nah, KemenkopUKM sadar: bantuan langsung seperti bantuan permodalan atau pelatihan sekali jalan nggak cukup. Perlu ekosistem yang saling terhubung, di mana setiap pihak main peran.

“Penguatan UMKM butuh kolaborasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan. Ini bukan lagi soal satu instansi kerja sendiri, tapi bagaimana kita semua bersinergi,” ujar Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia KemenkopUKM, yang bicara di sebuah forum nasional baru-baru ini — mungkin sambil menunjuk data bahwa 99% UMKM masih belum go digital.

Sinergi Itu Seperti Rantai, Kalau Satu Lemah, Semuanya Terganggu

Bayangkan UMKM itu seperti mobil. Mereka punya mesin (ide usaha), bahan bakar (modal), dan setir (kemampuan manajerial). Tapi kalau nggak ada jalan (akses pasar), bengkel (pelatihan), atau bensin station (lembaga keuangan), mobilnya bakal mogok di tengah jalan.

Maka dari itu, KemenkopUKM mendorong kolaborasi nyata, bukan cuma handshake di acara peluncuran. Contohnya:

  • Perbankan dan fintech diminta turun tangan dengan menyediakan skema pembiayaan yang mudah, bunga rendah, dan proses cepat — bukan cuma buat UMKM yang sudah punya laporan keuangan rapi, tapi juga yang masih catat omzet di buku tulis.
  • Platform digital seperti e-commerce dan logistik diminta membuka akses lebih luas. Bukan cuma jadi tempat jualan, tapi juga memberi edukasi, promosi, dan bahkan analitik penjualan.
  • Korporasi besar didorong untuk menjadikan UMKM sebagai mitra rantai pasok. Misalnya, hotel yang beli produk lokal buat fasilitas kamar, atau supermarket yang menjual makanan UMKM di rak mereka.
  • Pemerintah daerah diminta jadi fasilitator — dari urus izin usaha, bantu sertifikasi halal, sampai buka pasar daerah atau bazaar UMKM.

Dari Pelatihan ke Pasar, Semua Harus Terhubung

Salah satu masalah besar UMKM adalah putus di tengah jalan. Ikut pelatihan, dapat ilmu, tapi nggak tahu mau diapakan. Atau produknya bagus, tapi nggak laku karena nggak ada yang tahu.

Maka, KemenkopUKM menekankan pendekatan terintegrasi: pelatihan → pendampingan → akses pembiayaan → akses pasar. Semua harus nyambung, bukan kegiatan yang terpisah-pisah.

Beberapa program sudah mulai menerapkan ini. Misalnya, pelatihan digital marketing yang langsung diikuti dengan booth gratis di marketplace, atau program inkubasi yang mempertemukan UMKM dengan investor dan buyer potensial.

“Kita ingin UMKM tidak hanya survive, tapi juga grow,” kata seorang pejabat KemenkopUKM. “Dan itu hanya bisa terjadi kalau semua pihak komitmen jangka panjang, bukan sekadar event marketing.”

Tantangan: Banyak Mulut, Tapi Sedikit Tindakan

Meski wacana sinergi terdengar indah, realitanya masih banyak pelaku sinergi yang cuma hadir di foto acara, lalu menghilang. Banyak MoU (nota kesepahaman) ditandatangani, tapi nggak ada tindak lanjut.

Belum lagi soal koordinasi antarlembaga yang masih sering tumpang tindih. Satu UMKM bisa dapat tiga pelatihan berbeda dari tiga kementerian, tapi tetap nggak dapat modal. Atau dapat pinjaman, tapi nggak tahu cara promosi.

Untuk itu, KemenkopUKM mendorong sistem monitoring bersama dan dashboard terpadu, agar semua pihak bisa melihat progres UMKM secara real-time — siapa yang sudah dapat pelatihan, siapa yang butuh pembiayaan, dan siapa yang siap masuk pasar ekspor.

Penutup

Jadi, penguatan UMKM bukan lagi soal bagi-bagi sembako atau modal cuma-cuma. Ini soal membangun ekosistem yang mendukung — di mana pemerintah, swasta, dan masyarakat saling menguatkan.

Kalau selama ini UMKM dianggap sebagai “tulang punggung ekonomi”, sudah saatnya mereka diberi lebih dari sekadar pujian. Mereka butuh jalan, peta, dan teman seperjalanan.

Dengan sinergi multipihak yang serius, bukan tidak mungkin warung nasi di kampung bisa jadi brand nasional, atau pengrajin tenun bisa ekspor ke Paris. Karena di era sekarang, UMKM bukan cuma soal bertahan hidup — tapi soal naik kelas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *